Jumat, 23 September 2011

Kritik Sistem Ekonomi Kapitalis

Ada yang menarik dari kuliah pasca sarjana MM UGM malam ini, mata kuliah yang dibahas adalah Introdution to Financial Management , Dosen kami  mengadopsi teori Financial Corporate ala amrik yang merupakan implementasi dari sistem ekonomi kapitalis, beliau mengatakan bahwa tujuan dari Corporate Finance adalah "maximize shareholder wealth" (memaksimalkan kekayaan pemegang saham/pemodal), hal ini menjadi kesepakatan seluruh ekonom kapitalis (seperti  Eugene F. Brigham, Stephen A. Ross, dkk) dimanapun baik di amrik maupun di indonesia (yang "ikut-ikutan" mengadopsi hal ini). Memang jika kita cermati sistem ekonomi kapitalis menitikberatkan pada modal (kapital) sehingga para pemegang saham/pemodal menjadi aktor utama yang harus diprioritaskan (first priority)  untuk mendapatkan feed-back yang sebanyak-banyaknya, tidak heran jika kondisi yang terjadi di negeri yang mengadopsi sistem ini adalah semakin kaya orang yang kaya, dan semakin miskin orang yang miskin , karena begitu sempitnya "distribusi kesempatan" yang dimiliki oleh pelaku ekonomi selain para pemegang saham/pemodal. Kontras sekali jika dibandingkan dengan sistem ekonomi syariah yang bertujuan memaksimalkan seluruh pemegang kepentingan (Maximize stakeholder wealth include shareholder) , ada pernyataan beliau juga yang menegaskan bahwa para stakeholder itu sebenarnya telah dibayar dengan pantas ketika corporate menyertakan mereka dalam expend sebelum nett profit , tetapi menurut saya pribadi itu bukanlah perhatian kepada stakeholder yang bersusah payah dan aktif mencari profit, pembayaran salary kepada stakeholder adalah "konsekusensi logis" dari tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Lalu pertanyaannya adalah seberapa kuat sistem ekonomi kapitalis ini di dunia nyata yang tentu sering kontraproduktif dengan teori-teori para ekonom kapitalis itu ? jawabannya SANGAT RAPUH bahkan terkadang self destructive...!!!
Berdasarkan statistik, ternyata terjadi siklus krisis moneter yang berulang, tidak hanya terjadi di negeri kita juga terjadi di dunia (krisis global), Hanya saja, kurun siklusnya berbeda-beda. Untuk negara-negara maju dengan fundamental ekonomi yang cukup baik seperti Jepang, negara di Eropa atau Amerika Serikat, siklusnya sekitar 25 tahunan. Indonesia, Thailand dan negara serupa sekitar 7 tahunan. Indonesia pernah mengalami krisis meski tidak parah di tahun 90-an. Perbaikan terus berlangsung. Pertengahan 1997 krisis ekonomi hebat melanda Indonesia. Setelah itu, saat recovery belum lagi sempurna, guncangan kembali terjadi sekitar tahun 2005, utamanya setelah kenaikan BBM, dan terus berlangsung hingga sekarang (siklus krisis moneter yang berulang). Salah satu penyebab utama adalah adanya praktik riba dan judi. Keduanya membentuk sektor non-real dalam sistem ekonomi kapitalis baik dalam bentuk perbankan, asuransi, maupun perdagangan saham. Dalam sistem kapitalis, money (juga capital) memang dipandang sebagai private goods. Dalam pikiran mereka, baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, semua capital  harus menghasilkan uang. Faktanya,  investasi di sektor non-real saat ini memang cenderung terus meningkat, jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi. Inilah yang disebut oleh Paul Krugman (1999) sebagai “ekonomi balon” (bubble economy).
Ada lebih dari Rp 230 triliun dana masyarakat yang dikumpulkan oleh berbagai bank dengan susah-payah, juga Rp 90 triliun dana milik Pemda seluruh Indonesia, yang ternyata idle (menumpuk tak bergerak) di Bank Indonesia. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak secara otomatis berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Jika pada tahun 2000 setiap pertumbuhan ekonomi 1% menyerap sekitar 400.000 tenaga kerja, tahun 2003 menurun menjadi hanya 253.000, bahkan tahun 2006 lalu pertumbuhan 1% hanya membuka 42 ribu.
Sementara itu, di lantai bursa setiap hari beredar uang hingga Rp 3 triliun. Kapitalisasi bursa saham di Indonesia memang terus meningkat. Bila tahun 2005 lantai bursa menyumbang 36% dari PDB, tahun 2006/2007 ini, bursa saham Indonesia menyumbang 42 % PDB atau sekitar Rp 1.800 triliun. Meski begitu, keadaan ini tidak menggembirakan Wapres Jusuf Kalla karena perfomance bursa saham Indonesia, yang katanya termasuk paling bagus di dunia, tidak otomatis mempengaruhi sektor real. Bila pasar modal tidak dapat menggerakkan sektor real maka pasar modal tidak ada artinya. Itu kata Jusuf Kalla di depan Indonesia Investor  Forum di Jakarta akhir Mei lalu. Karenanya, ia menghimbau agar bursa saham memperhatikan sektor real;  sebuah himbauan yang sia-sia karena keduanya memang tidak berhubungan.  Pemicu krisis ekonomi adalah sektor non-real atau moneter yang memang dikenal sebagai sektor penuh spekulasi. Kekacauan di sektor ini menyebabkan kekacauan di sektor real (produksi, perdagangan dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik bukan karena hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), namun karena suku bunga perbankan naik dan terjadinya depresiasi rupiah terhadap dolar AS.
Dari pengalaman krisis tahun 1997 lalu, jelas terbukti bahwa bunga bank memang selalu akan memberikan tekanan terhadap kegiatan ekonomi. Sistem perbankan dengan bunga sangat berpengaruh terhadap bergairah-tidaknya serta sehat-tidaknya kegiatan ekonomi masyarakat. Riba memang akan selalu menjadi sumber labilitas ekonomi. Tatanan ekonomi masyarakat yang ditopang dengan sistem ribawi tidak akan pernah betul-betul sehat. Kalaupun suatu ketika tampak sehat, ia sesungguhnya sedang menuju ke satu  titik kolaps setelah mencapai puncaknya dari sebuah siklus krisis ekonomi. Karena itu, dengan tegas Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman menyebut bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Menurut saya pribadi memang bunga bank adalah produk sistem kapitalis yang hanya concern kepada para nasabah dalam hal ini adalah para pemegang saham/pemodal/investor, sehingga perusahaan mencoba memaksimalkan keuntungan mereka dengan cara menawarkan bunga , tapi sayang yang terjadi justru perekonomian kita ditopang oleh sektor non-real, beda jika kita bertujuan untuk mengakomodir seluruh kepentingan pelaku ekonomi, maka deviden yang dibagikan menjadi 2 arah, selain mengakomodir keuntungan shareholder akan tetapi tidak melupakan keuntungan stakeholder sehingga perekonomian ditopang oleh sektor real , selain itu pembagian nett profit yang fair ini justru menjadi motivasi tersendiri bagi para stakeholder untuk memaksimalkan profit yang akhirnya berimbas positif kepada shareholder, demikianlah opini penulis terhadap sistem kapitalis tersebut.
kesimpulan saya pribadi sistem kapitalis secara historis adalah sistem yang rapuh, sehingga kita tidak perlu mengimpor sistem ini untuk diaplikasikan di negeri ini.
Sumber : Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Ir. Ismail Yusanto, MM